[CERPEN] Perempuan yang Dipinang Bujang

5640663_1_lCerpen: Safik Yahida

Bujang mana yang tak kepincut pada kecantikan Cut Arfah. Bibirnya tipis merah marun sewarna darah, senyumnya indah bak bunga yang merekah, ia pun masyhur dikenal sebagai wanita salehah. Selain prangainya yang santun, ia kerap membaca Kitab suci dengan suara mengalun. Belum lagi sorot matanya yang cerlang. Ai, sesiapa yang beradu pandang, pastilah hati dibuatnya berdendang. Lantas, kumbang mana yang akan hinggap untuk menghisap sari manisnya kembang taman? Siapakah kiranya yang kelak beruntung menggamit dan membuka hijab gadis pujaan? Meminang dan mempersuntingnya sebagai istri!

Sungguh perlu hal ini untuk digesah, mengingat hampir seluruh anak bujang kampung membicarakan perihal Cut Arfah. Ada yang bilang ia ibarat putri sebuah kerajaan, ada yang menduga ia titisan dewi kahyangan (Sunggguh, ini bukan kiasan yang dilebih-lebihkan, bukan pula tutur kata isapan jempol belaka).

Meski banyak lelaki yang menyukainya, namun tak ada satu pun dari mereka yang tertaut di hati Cut Arfah. Apa karena anak bujang kampungnya masih kurang mapan, tak begitu rupawan, atau tidak bakalan membawa hidupnya dalam kebahagiaan? Ah, bukan. Tak ada di selintas pikirannya menginginkan itu semua. Ia bukan wanita kebanyakan yang hanya memikirkan kebahagiaan dunia, apalagi itu sifatnya hanya sementara. Tapi bila ditelisik lebih seksama, sebenarnya ada seorang lelaki yang telah lama mengendap di hatinya.

Lelaki itu seorang bujang dari kampung tetangga. Bukan tanpa alasan bila Teuku Nurgani selalu terbayang dipikirannya, tersebab lelaki itu pandai menggali suasana, selalu membuatnya tertawa bahagia. Masih bisa dihitung jari atau belumlah lama, baru tiga bulan yang lalu ia mengenal Teuku Nurgani di sebuah pertemuan tak sengaja. Tepatnya pada Ahad pagi di bulan Sya’ban mereka mulai bertegur sapa. Muasalnya bermula ketika mereka sama-sama menjadi relawan yang membantu para korban gempa dan tsunami Aceh. Di situlah kala pertama mereka berjumpa.

Pantas saja bila Cut Arfah langsung terpikat pada lelaki itu. Ternyata ia pun seorang bujang yang diinginkan ibu-ibu untuk menjadikannya sebagai menantu. Itulah alasan mengapa Cut Arfah tak pernah menggubris pinangan bujang lain yang membuat mereka seolah mati kutu.

“Sayang, umurmu telah ranum untuk memperoleh jodoh. Tidak adakah di antara semua anak bujang itu yang bisa membuat hatimu luluh?” ucap Ibunya beberapa waktu kebelakang.

“Memang sungguh tak sopan bila semuanya terus Cut tolak, Bu!” jawabnya.

“Pilihlah mana yang menurutmu pantas untuk kau jadikan suami,” Ibunya menasihati. “Kalau perlu, terima saja pinangan anak haji Rohman itu. Kurang apa ia coba?”

“Tapi Bu, apakah adil bila Cut harus menerima satu dari sekian banyak yang datang meminang?” dalih Cut Arfah tak mau kalah.

“Bukan persoalan adil atau tidaknya Sayang. Semakin kau terus diam untuk menjawab pinangan mereka, tak bisa dipungkiri juga bila nantinya mereka akan kecewa dan memendam dendam kepada kita!” Cut Arfah tertunduk mendengarkan, “Ibu juga sudah semakin tua, tak tegakah kau membiarkan Ibumu ini mati berkalang tanah tanpa terlebih dulu menggendong seorang cucu?”

Diam. Ia hanya mampu membisu tanpa menjawab ucapan Ibunya yang terlampau kebelet ingin mengais jabang bayi; mencukur dan menimbang rambutnya; memotong kambing untuk acara akikah. Ah, sepertinya tak perlu dirunutkan mengenai masalah memandikan, melampininya popok, atau menggendong cucunya di pekarangan rumah kala hari masih pagi. Pasti sesiapa yang kedatangan cucu pertama, bakalan sudi melakukannya. Ai, bahagia nian Ibunya kalau saja itu terlaksana. Tapi, Cut Arfah tetap tak kuasa bila harus menatap mata lamur Ibunya yang terkesan memaksa.

Amboi, tak terbayangkan bagitu besarnya perasaan gundah yang meruah di benak wanita rebutan itu. Bagaimana bila ia didaulat sebagai anak durhaka, yang tak bisa menghibahkan keinginan orang tua. Mungkin ia akan terperosok masuk neraka. Sebab ia yakin betul tanah surga ada di telapak kaki Ibunya. Ridho Tuhan ada pada keikhlasan hati Ibunya pula. Ah, tapi Tuhan pasti sedang mengatur rencana, masalah jodoh tak akan lari kemana, hanya perlu sabar sebentar pasti lelaki yang telah lama mengendap di hatinya itu bakalan tiba. Begitu ia selalu menghibur diri sendiri.

Namun, semakin lama ia menunggu, lelaki yang ia harapkan itu tak kunjung juga datang untuk memanjangkan tali kelambu. Sepertinya pepatah yang mengatakan ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’ tak akan pernah terlontar dari mulut dan bibir tipisnya itu. Semakin terus berharap, semakin perih ia meratap. Semakin terus memaksa, semakin pudarlah panjatan doa-doanya. Hiburan apa yang pantas untuk menawar perasaan resah yang semakin membuncah! Mengobati hati yang terkoyak simpak!

Sederhana saja. Bukan hal kemaruk yang ia pinta, tak lebih hanya lelaki itulah yang diharapkan datang meminangnya, walau tampak tamak tak henti-henti ia berdoa. Saban hari di depan rumah ia selalu menunggu, berencana menyambut lelaki itu, yang akan berkunjung untuk memanjangkan tali kelambu. “Tak elok anak perawan berdiam di muka pintu, bakalan semakin susah saja Ibu mendapatkan menantu!” begitu pantang Ibunya.

Tapi ia tahu, ucapan Ibunya itu hanyalah sebuah sindiran, atau semacam mitos yang dijadikan kepercayaan. Sudah bukan sesuatu hal yang tabu, bila Ibunya ingin sesegera mungkin dipanggil nenek oleh sang cucu. Ah, andai saja ia dihalalkan meminang Teuku Nurgani, sudah barang tentu sedari dulu ia sudah meminang lelaki itu. Melakukan hal yang dianggap pamali bagi seorang perempuan.

Beda halnya untuk seorang bujang. Dengan bebas bisa leluasa memilih siapa yang ia cinta, asalkan perempuannya berkenan menerima, pernikahan pun bisa langsung digelar esok harinya. Sedangkan, untuk seorang perempuan, hal itu masih dianggap pengecualian. Hanya boleh duduk termangu seperti barang dagangan! Berbenah diri untuk memikat hati yang ingin bertunangan! Itulah adat yang diterapkan di kampungnya. Ya, ia harus tetap menunggu.

***

Selama hidupnya, belum pernah ia merasakan gamang yang begitu bergelimpang. Ia masih ingat betul perkataan Teuku Nurgani tatkala di akhir perjumpaan. “Beruntung sekali orang yang bakalan menikahimu, siapakah kiranya lelaki itu?” katanya. Ai, merah bara muka Cut Arfah kala itu. Perasaan cinta yang disimpannya rapat-rapat, lamat-lamat mulai melumat. Rasa penasaran Teuku Nurgani pun semakin merambat.

“Kenapa dengan rona wajahmu? Sepertinya kau malu.” tanya lelaki itu memburu.

“Kalau Abang ingin tahu, datanglah ke rumahku.” jawab Cut Arfah tersipu.

Mereka tersenyum semanis madu. Degup jantungnya bertalu-talu. “Bagaimana kalau Abang yang meminangmu?” mendengar pertanyaan itu, Cut Arfah seakan terbang ke langit biru, terbang mengawang dengan sayap seindah kupu-kupu. Cakap benar lelaki itu merayu. Ia langsung mencubit pipinya sendiri, sekadar memastikan apakah itu hanya mimpi? Namun ia tidak tengah tertidur, apalagi sedang ngelindur. Ternyata impiannya bukanlah hal yang gurur.

“Apakah Abang tak sedang bercanda?” terdengar suaranya samar-samar. Namun bagi Teuku Nurgani, suara itu begitu memekakan gendang telinga, merewet menghentak hatinya.

Seraya menggenggam tangan Cut Arfah, lelaki itu mengucapkan suatu kepastian, “Tunggulah Abang, tak pernah kurelakan kalau kau dinikiahi orang.”

Ah, kenangan itu selalu membuatnya terngiang. Hingga sekarang, Cut Arfah tak pernah melupakan ucapan terakhirnya, seakan ingatan itu terus merumrum dalam pikirannya. “Kalau memang benar Abang akan datang, pastinya pinangan bujang lain bakalan kuhadang….”

***

Apa! Cut Arfah akan menikah? Bagaimana dengan bujang-bujang yang bergiliran mengantri untuk meminang; berharap cemas menanti jawaban atas niat baik mereka? Seluruh bujang gusar. Seantero kampung gempar. Bahkan telah menyebar hingga ke keramaian pasar. Seolah harapan mereka untuk mendapatkan Cut Arfah terseok gulung tikar. Lalu mereka merutuk tindak-tanduk keputusan setelah mendengar kabar: Cut Arfah akan menaiki jenjang pelaminan! Apalagi setelah diketahui, ternyata calon suaminya tak lain ialah bujang ingusan anak haji Rohman.

“Ibu tak mau tahu, pokoknya kau harus menerima anak haji Rohman itu,” bentak Ibunya.

“Tapi Bu, Cut juga berhak menentukan pilihan,” katanya. “Tak tegakah Ibu membiarkan Cut terperosok dalam lubang kesedihan?” lanjutnya seraya mengeluarkan air mata. Namun Ibunya tak ambil pusing dan tetap pada pendiriannya―ingin cepat-cepat menikahkan anak satu-satunya itu―sebab tak lazim bila di kampungnya memiliki anak perawan tua. Padahal usianya masih kepala dua. Masih terbilang muda.

“Tak perlu kau banyak bicara! Anak orang kaya itu bisa memberimu segalanya, bukalah mata hatimu yang kepalang buta!”

Ya. Ya… ia sepakat bahwa calon suami yang dipilihankan Ibunya itu memanglah keturunan orang kaya. Kebun kopi, palawija, atau pohon tembakau yang tumbuh di sepanjang pantai, semuanya milik keluarga itu. Belum lagi ladang ganja yang membelantara. Tak ayal bila hartanya semakin meruap.

Tapi, berbicara mengenai cinta bukan hanya setali tiga uang saja. Tak sedikit pondasi rumah tangga porak poranda gara-gara terpedaya kenikmatan dunia. Ia membayangkan, bakalan rumpil pastinya membangun kebahagiaan rumah tangga dengan orang yang tak ia duga. Bersama orang yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Tiba-tiba ingatannya bersama Teuku Nurgani kembali terngiang. Hanya oleh lelaki itulah ia ingin dipinang. Air matanya tumpah bagai mengiris berambang. Ia masih saja menanti lelaki itu datang.

Bagaikan jauh panggang dari api, Teuku Nurgani tak pernah menampakan sosoknya lagi. Jangankan berniat untuk berjumpa, berucap salam atau bertanya seputar kabar pun tak ada. Semua janjinya hanya dusta belaka. Miris memang bila harus menelan rasa kecewa. Sakitnya bagaikan disayat silet tajam, atau dihantam oleh godam.

Maka sudah dapat dipastikan, mau tak mau Cut Arfah harus menerima sebuah perjodohan. Perjodohan yang dipilihkan oleh Ibunya. Perjodohan yang bisa membuat batinnya tersiksa. Rencananya pernikahan itu akan digelar meriah tepat pertengahan Syawal nanti. Dan, lagi-lagi Cut Arfah terus berharap: semoga di hari pernikahannya kelak, Teuku Nurgani akan datang melabrak.

Bandung, 2012

About Safik Yahida

SESEORANG YANG TAK BANYAK BICARA. SEORANG LELAKI KIKUK YANG TAK PUNYA KEAHLIAN APA-APA

Posted on 14 May 2013, in CERPEN. Bookmark the permalink. 4 Comments.

  1. Tetap berkarya kawan, karena ditangan kita-kitalah sastra akan berjaya kembali & membasuh nurani masyarakat yang makin kerontang..Carpe Diem!

    Like

  2. Terima kasih sebelumnya 🙂

    Like

  3. Kami sekeluarga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada MBAH RIJI atas bantuannya saya menang togel yang pertama kalinya,pekerjaan saya sehari-harinya cuma seorang supir angkot yang pendapatannya tidak seberapa,buat biaya anak sekolah aja tidak cukup apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-harinya….suatu hari saya tidak sengaja mendengar pembicaraan teman saya mengenai prediksa MBAH RIJI yang katanya bisa mengeluarkan angka sgp/hk yang di jamin tembus,akhirnya saya bertanya dan teman saya memberikan nomor MBAH RIJI dan saya pun menghubunginya..?? Berkat bantuan MBAH yang telah memberikan anka “GHOIB” nya 3D yaitu 275 dan alhamdulillah itu ternyata terbukti….sekaran anak saya bisa lanjut sekolah lagi itu semua atas bantuan MBAH RIJI ,bagi anda yang penggemar togel ingin meruban nasib melalui angka2 goip yang di jamin 100% kemenangan hbg MBAH RIJI di nmr;_082344440428,ini bukti nyata bukan rekayasa,mana ada kemenangan tanpa keberanian dan kejujuran,saanya kita perlu bukti bukan sekedar janji2,hanya MBAH RIJI yang bisa menjamin 100% kesuksesan,anda perlu bukti hbg sekaran MBAH RIJI nya,terima kasih

    Like

Leave a comment